Jumat, 23 Maret 2012

ARTIKEL REKSADANA


REKSADANA
Reksadana adalah wadah dan pola pengelolaan dana/modal bagi sekumpulan investor untuk berinvestasi dalam instrumen-instrumen investasi yang tersedia di Pasar dengan cara membeli unit penyertaan reksadana. Dana ini kemudian dikelola oleh Manajer Investasi (MI) ke dalam portofolio investasi, baik berupa saham, obligasi, pasar uang ataupun efek/sekuriti lainnya.
Menurut Undang-undang Pasar Modal nomor 8 Tahun 1995 pasal 1, ayat (27): “Reksadana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat Pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio Efek oleh Manajer Investasi.”
Dari kedua definisi di atas, terdapat tiga unsur penting dalam pengertian Reksadana yaitu:
  1. Adanya kumpulan dana masyarakat, baik individu maupun institusi
  2. Investasi bersama dalam bentuk suatu portofolio efek yang telah terdiversifikasi; dan
  3. Manajer Investasi dipercaya sebagai pengelola dana milik masyarakat investor.
Pada reksadana, manajemen investasi mengelola dana-dana yang ditempatkannya pada surat berharga dan merealisasikan keuntungan ataupun kerugian dan menerima dividen atau bunga yang dibukukannya ke dalam "Nilai Aktiva Bersih" (NAB) reksadana tersebut.
Kekayaan reksadana yang dikelola oleh manajer investasi tersebut wajib untuk disimpan pada bank kustodian yang tidak terafiliasi dengan manajer investasi, dimana bank kustodian inilah yang akan bertindak sebagai tempat penitipan kolektif dan administratur.
Bentuk Hukum Reksadana
Berdasarkan Undang-undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995 pasal 18, ayat (1), bentuk hukum Reksadana di Indonesia ada dua, yakni Reksadana berbentuk Perseroan Terbatas (PT. Reksa Dana) dan Reksadana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK).
Reksa Dana berbentuk Perseroan (PT. Reksa Dana)
suatu perusahaan (perseroan terbatas), yang dari sisi bentuk hukum tidak berbeda dengan perusahaan lainnya. Perbedaan terletak pada jenis usaha, yaitu jenis usaha pengelolaan portofolio investasi.
Kontrak Investasi Kolektif
kontrak yang dibuat antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang juga mengikat pemegang Unit Penyertaan sebagai Investor. Melalui kontrak ini Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio efek dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan penitipan dan administrasi investasi.



Karakteristik Reksadana
Berdasarkan karakteristiknya maka reksadana dapat digolongkan sebagai berikut:
Reksadana Terbuka adalah reksadana yang dapat dijual kembali kepada Perusahaan Manajemen Investasi yang menerbitkannya tanpa melalui mekanisme perdagangan di Bursa efek. Harga jualnya biasanya sama dengan Nilai Aktiva Bersihnya. Sebagian besar reksadana yang ada saat ini adalah merupakan reksadana terbuka.
Reksadana Tertutup adalah reksadana yang tidak dapat dijual kembali kepada perusahaan manajemen investasi yang menerbitkannya. Unit penyertaan reksadana tertutup hanya dapat dijual kembali kepada investor lain melalui mekanisme perdagangan di Bursa Efek. Harga jualnya bisa diatas atau dibawah Nilai Aktiva Bersihnya.
Jenis-jenis Reksadana
  1. Reksadana Pendapatan Tetap adalah Reksadana yang melakukan investasi sekurang-kurangnya 80% dari dana yang dikelola (aktivanya) dalam bentuk efek bersifat utang.
  2. Reksadana Saham adalah Reksadana yang melakukan investasi sekurang-kurangnya 80% dari dana yang dikelolanya dalam efek bersifat ekuitas.
  3. Reksadana Campuran adalah Reksadana yang mempunyai perbandingan target aset alokasi pada efek saham dan pendapatan tetap yang tidak dapat dikategorikan ke dalam ketiga reksadana lainnya.
  4. Reksadana Pasar Uang adalah Reksadana yang investasinya ditanam pada efek bersifat hutang dengan jatuh tempo yang kurang dari satu tahun.
Nilai Aktiva Bersih
NAB (Nilai Aktiva Bersih) merupakan salah satu tolok ukur dalam memantau hasil dari suatu Reksa Dana.NAB per saham/unit penyertaan adalah harga wajar dari portofolio suatu Reksadana setelah dikurangi biaya operasional kemudian dibagi jumlah saham/unit penyertaan yang telah beredar (dimiliki investor) pada saat tersebut.


Manfaat Reksadana
Reksa Dana memiliki beberapa manfaat yang menjadikannya sebagai salah satu alternatif investasi yang menarik antara lain:
  1. Dikelola oleh manajemen profesional
Pengelolaan portofolio suatu Reksa Dana dilaksanakan oleh Manajer Investasi yang memang mengkhususkan keahliannya dalam hal pengelolaan dana. Peran Manajer Investasi sangat penting mengingat Pemodal individu pada umumnya mempunyai keterbatasan waktu, sehingga tidak dapat melakukan riset secara langsung dalam menganalisa harga efek serta mengakses informasi ke pasar modal.
  1. Diversifikasi investasi
Diversifikasi atau penyebaran investasi yang terwujud dalam portofolio akan mengurangi risiko (tetapi tidak dapat menghilangkan), karena dana atau kekayaan Reksa Dana diinvestasikan pada berbagai jenis efek sehingga risikonya pun juga tersebar. Dengan kata lain, risikonya tidak sebesar risiko bila seorang membeli satu atau dua jenis saham atau efek secara individu.
  1. Transparansi informasi
Reksa Dana wajib memberikan informasi atas perkembangan portofolionya dan biayanya secara kontinyu sehingga pemegang Unit Penyertaan dapat memantau keuntungannya, biaya, dan risiko setiap saat.Pengelola Reksa Dana wajib mengumumkan Nilai Aktiva Bersih (NAB) nya setiap hari di surat kabar serta menerbitkan laporan keuangan tengah tahunan dan tahunan serta prospektus secara teratur sehingga Investor dapat memonitor perkembangan investasinya secara rutin.
  1. Likuiditas yang tinggi
Agar investasi yang dilakukan berhasil, setiap instrumen investasi harus mempunyai tingkat likuiditas yang cukup tinggi. Dengan demikian, Pemodal dapat mencairkan kembali Unit Penyertaannya setiap saat sesuai ketetapan yang dibuat masing-masing Reksadana sehingga memudahkan investor mengelola kasnya. Reksadana terbuka wajib membeli kembali Unit Penyertaannya sehingga sifatnya sangat likuid.
  1. Biaya Rendah
Karena reksadana merupakan kumpulan dana dari banyak pemodal dan kemudian dikelola secara profesional, maka sejalan dengan besarnya kemampuan untuk melakukan investasi tersebut akan menghasilkan pula efisiensi biaya transaksi.
Biaya transaksi akan menjadi lebih rendah dibandingkan apabila Investor individu melakukan transaksi sendiri di bursa.

Risiko Investasi Reksa Dana
Untuk melakukan investasi Reksa Dana, Investor harus mengenal jenis risiko yang berpotensi timbul apabila membeli Reksadana.
  1. Risiko menurunnya NAB (Nilai Aktiva Bersih) Unit Penyertaan
Penurunan ini disebabkan oleh harga pasar dari instrumen investasi yang dimasukkan dalam portofolio Reksadana tersebut mengalami penurunan dibandingkan dari harga pembelian awal. Penyebab penurunan harga pasar portofolio investasi Reksadana bisa disebabkan oleh banyak hal, di antaranya akibat kinerja bursa saham yang memburuk, terjadinya kinerja emiten yang memburuk, situasi politik dan ekonomi yang tidak menentu, dan masih banyak penyebab fundamental lainnya.
  1. Risiko Likuiditas
Potensi risiko likuiditas ini bisa saja terjadi apabila pemegang Unit Penyertaan reksadana pada salah satu Manajer Investasi tertentu ternyata melakukan penarikkan dana dalam jumlah yang besar pada hari dan waktu yang sama. Istilahnya, Manajer Investasi tersebut mengalami rush (penarikan dana secara besar-besaran) atas Unit Penyertaan reksadana. Hal ini dapat terjadi apabila ada faktor negatif yang luar biasa sehingga memengaruhi investor reksadana untuk melakukan penjualan kembali Unit Penyertaan reksadana tersebut. Faktor luar biasa tersebut di antaranya berupa situasi politik dan ekonomi yang memburuk, terjadinya penutupan atau kebangkrutan beberapa emiten publik yang saham atau obligasinya menjadi portofolio Reksadana tersebut, serta dilikuidasinya perusahaan Manajer Investasi sebagai pengelola Reksadana tersebut.
  1. Risiko Pasar
Risiko Pasar adalah situasi ketika harga instrumen investasi mengalami penurunan yang disebabkan oleh menurunnya kinerja pasar saham atau pasar obligasi secara drastis. Istilah lainnya adalah pasar sedang mengalami kondisi bearish, yaitu harga-harga saham atau instrumen investasi lainnya mengalami penurunan harga yang sangat drastis. Risiko pasar yang terjadi secara tidak langsung akan mengakibatkan NAB (Nilai Aktiva Bersih) yang ada pada Unit Penyertaan Reksadana akan mengalami penurunan juga. Oleh karena itu, apabila ingin membeli jenis Reksadana tertentu, Investor harus bisa memperhatikan tren pasar dari instrumen portofolio Reksadana itu sendiri.
  1. Risiko Default
Risiko Default terjadi jika pihak Manajer Investasi tersebut membeli obligasi milik emiten yang mengalami kesulitan keuangan padahal sebelumnya kinerja keuangan perusahaan tersebut masih baik-baik saja sehingga pihak emiten tersebut terpaksa tidak membayar kewajibannya. Risiko ini hendaknya dihindari dengan cara memilih Manajer Investasi yang menerapkan strategi pembelian portofolio investasi secara ketat.
                       






LELANG DALAM PANDANGAN ISLAM


Lelang Merupakan suatu bentuk penawaran barang kepada penawar yang pada awalnya  membuka lelang dengan harga rendah kemudian semakin naik sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan harga tertinggi sehinga pada akhirnya penawar dengan harga yang paling tinggi mendapatkan orang  yang dilelangkan. Bentuk-bentuk lelang sendiri memiliki bentuk yang beragam yaitu tidak terbatas hanya pada barang saja tetapi juga bisa berupa proyek pembangunan suatu gedung dengan nilai yang sangat besar ataupun proyek perubahan alih fungsi suatu areal kosong atau hutan. Salah satu bentuk lelang berupa proyek adalah tender jika dilihat dari sei penawaranya yaitu suatu penawaran atau pengajuan oleh pentender untuk memperoleh persetujuan mengenai alat bayar sah atau jasa guna melunasi suatu hutang atau kewajiban agar terhindar dari hukuman atau penyitaan jika tak dilunasi. Dalam kontrak bisnis, tender merupakan suatu penawaran yang dilakukan oleh kontraktor untuk memasok atau memborong barang atau jasa berupa penawaran terbuk di mana para peserta tender dapat bersaing menurunkan harga dengan kualitas yang dikehendaki atau berupa penawaran tertutup di mana penawaran dimasukkan dalam amplop bermaterai dan dibuka secara serempak pada saat tertentu untuk dipilih yang terbaik dari aspek harga maupun kualitas dan para peserta dapat menurunkan harga lagi sampai pada titik harga yang sesuai dengan daya beli para peserta.

Hukum Jual Beli Lelang Dalam Pandangan Islam
Lelang adalah salah satu jenis jual beli dimana penjual menawarkan barang di tengah keramaian lalu para pembeli saling menawar dengan suatu harga. Namun akhirnya penjual akan menentukan, yang berhak membeli adalah yang mengajukan harga tertinggi. Lalu terjadi akad dan pembeli tersebut mengambil barang dari penjual. Dalam kitab-kitab fiqih atau hadits, jual beli lelang biasanya disebut dengan istilah bai’ al-muzayadah (adanya penambahan). Hukum lelang Dalam syariat Islam masih dalam tahap kontropersi yaitu ada diantaranya yang menyatakan boleh dan ada juga yang Mengatakan makruh hukmnya. Berdasarkan pendapat tersebut tentunya kita harus meruJuk pada sumber yang memang dapat dipercaya ayitu pada Al-Quran dan Hadits. Rasulullah pernah dalam suatu waktu pernah melakukan lalang yaitu ketika ada seorang pengemis yang meminta-minta dan disana Rasulullah melakukan lelang terhadap barang yang dimiliki seorang pengemis tersebut. Didalam Surat An-Nisa ayat 29 dan Al-Mulk ayat 15 diterangkan bahwa adanya kebebasan, keleluasaan dan keluasan ruang gerak bagi kegiatan usaha umat Islam dalam rangka mencari karunia Allah berupa rezki yang halal melalui berbagai bentuk transaksi saling menguntungkan yang berlaku di masyarakat tanpa melanggar ataupun merampas hak-hak orang lain secara tidak sah.
Setiap transaksi jual beli baik itu lelang maupun jual beli secara langsung memiliki ketentuan sebagai berikut :
1.      Bila transaksi sudah dilakukan dengan seseorang, maka orang lain tidak boleh menginvestasikan dan melakukan transaksi kedua.
2.      Mempertimbangkan pilihan yang dibolehkan dalam transaksi jual beli, dengan ketentuan –ketentuan yang ditentukan.
3.      Transaksi dagang hanya untuk barang yang sudah ada dan dapat dikenali segala identitasnya.
4.      Bersumpah dalam transaksi dagang tidak diperbolehkan
5.      Dalam transaksi jual beli dianjurkan ada saksi.
Melihat dari segi pembahasanya lelang merupakan salah satu bentuk jual beli antara pedagang dengan peserta yang menjadi pembeli tetapi dalam hal ini  barang yang dijual tidak selalu secara nyata dan ini akan dibahas pada uraian selanjutnya.

Permasalahan

Lelang ada dalam Islam dan hukumnya boleh (mubah). Ibnu Abdil Barr berkata,"Sesungguhnya tidaklah haram menjual barang kepada orang yang menambah harga, demikianlah menurut kesepakatan ulama. Dalam aktivitas dan transaksi bisnis kontemporer baik yang dilakukan swasta maupun pemerintah, individu maupun lembaga sering dipakai cara lelang atau tender dalam penjualan suatu barang/jasa dan penawaran tender proyek. Dalam praktiknya, tidak jarang terjadi penyimpangan prinsip syariah seperti manipulasi, kolusi maupun permainan kotor lainnya. Permasalahan lelang memang merupakan masalah yang berada diantara aspek yang berbeda yaitu dari aspek bisnis dan atiran agama yang mengatur segala bentuk hal yang ada dalam kehidupan manusia. Tetapi kemudian timbul beberapapertanyaan mengenai lelang ini yaitu Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan jual beli lelang itu ? dalam praktik bisnis dan kaitannya dengan tender, bagaimana pendapat para ulama tentang jual beli lelang ?. Adakah unsur riba dalam jual beli lelang karena lelang itu sendiri ?. Apakah tidak termasuk larangan Nabi saw tentang menawar di atas tawaran orang lain ? Bolehkah berprofesi sebagai juru lelang atau bekerja di balai lelang?

Pembahasan

Lelang menurut pengertian transaksi mua’amalat kontemporer dikenal sebagai bentuk penjualan barang di depan umum kepada penawar tertinggi. Dalam Islam juga memberikan kebebasan keleluasaan dan keluasan ruang gerak bagi kegiatan usaha umat Islam dalam rangka mencari karunia Allah berupa rezki yang halal melalui berbagai bentuk transaksi saling menguntungkan yang berlaku di masyarakat tanpa melanggar ataupun merampas hak-hak orang lain secara tidak sah.



QS.An-Nisa’  Ayat 29
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.


QS.Al-Mulk:15

Artinya :
Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.
Lelang dapat berupa penawaran barang tertentu kepada penawar yang pada mulanya membuka lelang dengan harga rendah kemudian semakin naik sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan harga tertinggi sebagaimana disebut dengan lelang naik. Pada prinsipnya, syariah Islam membolehkan jual beli barang/ jasa yang halal dengan cara lelang yang dalam fiqih disebut sebagai akad Bai’ Muzayadah. (Ibnu Juzzi, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah, 290, Majduddin Ibnu Taimiyah, Muntaqal Akhbar, V/101) Praktik lelang (muzayadah) dalam bentuknya yang sederhana pernah dilakukan oleh Nabi saw. ketika didatangi oleh seorang sahabat dari kalangan anshar meminta sedekah kepadanya. Lalu Nabi bertanya: “Apakah di rumahmu ada suatu aset/barang?” Ia menjawab ya ada, sebuah hils (kain usang) yang kami pakai sebagai selimut sekaligus alas dan sebuah qi’b (cangkir besar dari kayu) yang kami pakai minum air. Lalu beliau menyuruhnya mengambil kedua barang tersebut. Ketika ia menyerahkannya kepada Nabi, beliau mengambilnya lalu menawarkannya: “Siapakah yang berminat membeli kedua barang ini?” Lalu seseorang menawar keduanya dengan harga satu dirham. Maka beliau mulai meningkatkan penawarannya: “Siapakah yang mau menambahkannya lagi dengan satu dirham?” lalu berkatalah penawar lain: “Saya membelinya dengan harga dua dirham” Kemudian Nabi menyerahkan barang tersebut kepadanya dan memberikan dua dirham hasil lelang kepada sahabat anshar tadi.(HR.Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah). Ibnu Qudamah, Ibnu Abdil Bar dan lainnya meriwayatkan adanya ijma’ (kesepakatan) ulama tentang bolehnya jual-beli secara lelang bahkan telah menjadi kebiasaan yang berlaku di pasar umat Islam pada masa lalu. Sebagaimana Umar bin Khathab juga pernah melakukannya demikian pula karena umat membutuhkan praktik lelang sebagai salah satu cara dalam jual beli. (Al-Mughni, VI/307, Ibnu Hazm, Al-Muhalla, IX/468).
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan juga Ahmad.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُهُ فَقَالَ لَكَ فِي بَيْتِكَ شَيْءٌ قَالَ بَلَى حِلْسٌ نَلْبَسُ بَعْضَهُ وَنَبْسُطُ بَعْضَهُ وَقَدَحٌ نَشْرَبُ فِيهِ الْمَاءَ قَالَ ائْتِنِي بِهِمَا قَالَ فَأَتَاهُ بِهِمَا فَأَخَذَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ مَنْ يَشْتَرِي هَذَيْنِ فَقَالَ رَجُلٌ أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمٍ قَالَ مَنْ يَزِيدُ عَلَى دِرْهَمٍ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا قَالَ رَجُلٌ أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا إِيَّاهُ وَأَخَذَ الدِّرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا الْأَنْصَارِيَّ
Bentuk lain dari lelang seperti perebutan proyek yang akan dibangun atau dengan istilah lainya yaitu tender, dalam Dari Anas bin Malik ra bahwa ada seorang lelaki Anshar yang datang menemui Nabi saw dan dia meminta sesuatu kepada Nabi saw. Nabi saw bertanya kepadanya,”Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu?” Lelaki itu menjawab,”Ada. Dua potong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir untuk meminum air.” Nabi saw berkata,”Kalau begitu, bawalah kedua barang itu kepadaku.” Lelaki itu datang membawanya. Nabi saw bertanya, ”Siapa yang mau membeli barang ini?” Salah seorang sahabat beliau menjawab,”Saya mau membelinya dengan harga satu dirham.” Nabi saw bertanya lagi,”Ada yang mau membelinya dengan harga lebih mahal?” Nabi saw menawarkannya hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau berkata,”Aku mau membelinya dengan harga dua dirham.” Maka Nabi saw memberikan dua barang itu kepadanya dan beliau mengambil uang dua dirham itu dan memberikannya kepada lelaki Anshar tersebut.(HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Tirmidzi).
Makna penawaran tender yaitu suatu penawaran atau pengajuan oleh pentender untuk memperoleh persetujuan (acceptance) mengenai alat bayar sah (legal tender), atau jasa guna melunasi suatu hutang atau kewajiban agar terhindar dari hukuman atau penyitaan jika tak dilunasi. Dalam kontrak bisnis, tender merupakan suatu penawaran yang dilakukan oleh pemasok (supplier) atau kontraktor untuk memasok/memborong barang atau jasa berupa penawaran terbuka (open tender) di mana para peserta tender dapat bersaing menurunkan harga dengan kualitas yang dikehendaki; atau berupa penawaran tertutup (sealed tender) di mana penawaran dimasukkan dalam amplop bermaterai dan dibuka secara serempak pada saat tertentu untuk dipilih yang terbaik dari aspek harga maupun kualitas dan para peserta dapat menurunkan harga lagi. Tender juga sering dipakai untuk pelaksanaan suatu proyek di mana pemilik proyek melakukan lelang dan calon peserta/pelaksana proyek mengajukan penawaran atau tender dengan persaingan harga terendah dan barang/jasa yang sesuai. Biasanya yang sering terjadi penyimpangan dalam tender di antaranya berupa penawaran cincai/kolusi (collusive tendering) dengan praktik sogok dan atau cara lainnya yang tidak sehat untuk memenangkan penawaran atau tendernya.
Meskipun demikian ada sebagian ulama seperti an-Nakha`i memakruhkan jual beli lelang, dengan dalil hadits dari Sufyan bin Wahab bahwa dia berkata,
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع المزايدة
”Aku mendengar Rasulullah saw melarang jual beli lelang.” (HR Al-Bazzar).
Praktik penawaran sesuatu yang sudah ditawar orang lain dapat diklasifikasi menjadi tiga kategori: Pertama; Bila terdapat pernyataan eksplisit dari penjual persetujuan harga dari salah satu penawar, maka tidak diperkenankan bagi orang lain untuk menawarnya tanpa seizin penawar yang disetujui tawarannya. Kedua; Bila tidak ada indikasi persetujuan maupun penolakan tawaran dari penjual, maka tidak ada larangan syariat bagi orang lain untuk menawarnya maupun menaikkan tawaran pertama, sebagaimana analogi hadits Fathimah binti Qais ketika melaporkan kepada Nabi bahwa Mu’awiyah dan Abu Jahm telah meminangnya, maka karena tidak ada indikasi persetujuan darinya terhadap pinangan tersebut, beliau menawarkan padanya untuk menikah dengan Usamah bin Zaid. Ketiga; Bila ada indikasi persetujuan dari penjual terhadap suatu penawaran meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, maka menurut Ibnu Qudamah tetap tidak diperkenankan untuk ditawar orang lain.
Adapun mengenai tender pada substansinya tidak jauh berbeda ketentuan hukumnya dari lelang karena sama-sama penawaran suatu barang/jasa untuk mendapatkan harga yang dikehendaki dengan kondisi barang/jasa sebagaimana diminati. Namun untuk mencegah adanya penyimpangan syariah dan pelanggaran hak, norma dan etika dalam praktik lelang maupun tender, syariat Islam memberikan panduan dan kriteria umum sebagai guide line yaitu di antaranya:
1.  Transaksi dilakukan oleh pihak yang cakap hukum atas dasar saling sukarela
2.  Objek lelang dan tender harus halal dan bermanfaat
3.  Kepemilikan penuh pada barang atau jasa yang dijual
4. Kejelasan dan transparansi barang/jasa yang dilelang atau dutenderkan tanpa adanya manipulasi seperti window dressing atau lainnya
5.  kesanggupan penyerahan barang dari penjual
6. Kejelasan dan kepastian harga yang disepakati tanpa berpotensi menimbulkan  perselisihan.
7. Tidak menggunakan cara yang menjurus kepada kolusi dan suap untuk memenangkan tender dan tawaran.
Segala bentuk rekayasa curang untuk mengeruk keuntungan tidak sah dalam praktik lelang maupun tender dikategorikan para ulama dalam praktik Najasy (komplotan/trik kotor tender dan lelang) yang diharamkan Nabi saw. (HR. Bukhari dan Muslim) atau juga dapat dimasukkan dalam kategori Risywah (sogok) bila penjual atau pembeli menggunakan uang, fasilitas ataupun service untuk memenangkan tender ataupun lelang yang sebenranya tidak memenuhi kriteria yang dikehendaki mitranya bisnisnya. Dengan demikian hukum profesi juru lelang dan bekerja di balai lelang diperbolehkan dalam Islam selama memenuhi kriteria umum yang digariskan syariatnya seperti di atas.

Kesimpulan  
Lelang adalah salah satu jenis jual beli di mana pembeli menawarkan barang di tengah keramaian lalu para pembeli saling menawar dengan harga lebih tinggi sampai pada batas harga tertinggi dari salah satu pembeli, lalu terjadi akad dan pembeli tersebut mengambil barang dari penjual (Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam (Maa Laa Yasa’u al-Taajir Jahlahu), Jakarta : Darul Haq, 2004, hal. 110). Beberapa pengertian di atas  merupakan jawaban atas bagaimana yang sebenarnya harus dilakukan dalam menjalankan sistem lelang dimana dalam sistem Islam sangat menjaga sekali kejujuran tanpa adanya manipulasi ataupun kecurangan kecurangan dalam menjalankas sistem lelang. Terutama dalam lelang yang keberadaannya masih tidak real seperti bursa efek, harus di jalankan secara sebaik-baiknya karena sistem seperti itu menjadikan bisnis yang bisa menghasilkan uang yang bisa diidenikan dengan judi. Jual beli model lelang dalam hukum Islam adalah boleh (mubah). Di dalam kitab Subulus salam disebutkan Ibnu Abdil Barr berkata, ”Sesungguhnya tidak haram menjual barang kepada orang dengan adanya penambahan harga (lelang), dengan kesepakatan (di antara semua pihak).”
Sebagian ulama seperti an-Nakha`i memakruhkan jual beli lelang, dengan dalil hadits dari Sufyan bin Wahab bahwa dia berkata,"Aku mendengar Rasulullah SAW melarang jual beli lelang." (sami’tu rasulallah SAW nahaa ‘an bai’ al-muzayadah). (HR Al-Bazzar). (Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, Juz II/191). Syariat Islam dengan berbagai pertimbangan yang sangat dijunjung tinggi tidak melarang dalam melakukan usaha untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya dan dengan cara seperti apa selama cara yang dilakukan masih berada dalam garis syariat yang dihalalkan. Sedangkan adanya aturan dalam ajaran Islam tentunya tidak semata-matahanya aturan belaka yang hanya menjadi dasar, tetapi merupakan suatu aturan yang berfungsi menjaga dari adanya manipulasi atai kecurangan-kecurangan dalam menjalankan bisnis dengan cara lelang. Tererutama dalam konteks sebuah proyek yang sangat besar bisa saja terjadi penyelahgunaan diantara para kontraktor atau pertenden demi mendapatkan penawaran yang paling pas denga keinginannya. Lelang dapat berupa penawaran barang tertentu kepada penawar yang pada mulanya membuka lelang dengan harga rendah kemudian semakin naik sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan harga tertinggi sebagaimana disebut dengan lelang naik.
 Untuk men download artikel, silahkan anda klik link di bawah ini : 
 
 
Dalil bolehnya lelang adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan juga Ahmad.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُهُ فَقَالَ لَكَ فِي بَيْتِكَ شَيْءٌ قَالَ بَلَى حِلْسٌ نَلْبَسُ بَعْضَهُ وَنَبْسُطُ بَعْضَهُ وَقَدَحٌ نَشْرَبُ فِيهِ الْمَاءَ قَالَ ائْتِنِي بِهِمَا قَالَ فَأَتَاهُ بِهِمَا فَأَخَذَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ مَنْ يَشْتَرِي هَذَيْنِ فَقَالَ رَجُلٌ أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمٍ قَالَ مَنْ يَزِيدُ عَلَى دِرْهَمٍ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا قَالَ رَجُلٌ أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا إِيَّاهُ وَأَخَذَ الدِّرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا الْأَنْصَارِيَّ
Dari Anas bin Malik ra bahwa ada seorang lelaki Anshar yang datang menemui Nabi saw dan dia meminta sesuatu kepada Nabi saw. Nabi saw bertanya kepadanya,”Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu?” Lelaki itu menjawab,”Ada. Dua potong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir untuk meminum air.” Nabi saw berkata,”Kalau begitu, bawalah kedua barang itu kepadaku.” Lelaki itu datang membawanya. Nabi saw bertanya, ”Siapa yang mau membeli barang ini?” Salah seorang sahabat beliau menjawab,”Saya mau membelinya dengan harga satu dirham.” Nabi saw bertanya lagi,”Ada yang mau membelinya dengan harga lebih mahal?” Nabi saw menawarkannya hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau berkata,”Aku mau membelinya dengan harga dua dirham.” Maka Nabi saw memberikan dua barang itu kepadanya dan beliau mengambil uang dua dirham itu dan memberikannya kepada lelaki Anshar tersebut… (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Tirmidzi)

JUAL BELI KREDIT DALAM ISLAM


HUKUM JUAL BELI KREDIT DALAM ISLAM

HUKUM PERKREDITAN
Macam-Macam Praktek Perkreditan.
Diantara salah satu bentuk perniagaan yang marak dijalankan di masyarakat ialah dengan jual-beli dengan cara kredit.
Dahulu, praktek perkreditan yang dijalankan di masyarakat sangat sederhana, sebagai konsekwensi langsung dari kesederhanaan metode kehidupan mereka. Akan tetapi pada zaman sekarang, kehidupan umat manusia secara umum telah mengalami kemajuan dan banyak perubahan.
Tidak pelak lagi, untuk dapat mengetahui hukum berbagai hal yang dilakukan oleh masyarakat sekarang, kita harus mengadakan study lebih mendalam untuk mengetahui tingkat kesamaan antara yang ada dengan yang pernah diterapkan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa saja, nama tetap sama, akan tepai kandungannya jauh berbeda, sehingga hukumnyapun berbeda.
Adalah kesalahan besar bagi seorang mujtahid ketika hendak berijtihad, hanya berpedoman kepada kesamaan nama, tanpa memperhatikan adanya pergeseran atau perkembangan makna dan kandungannya.
Diantara jenis transaksi yang telah mengalami perkembangan makna dan penerapannya adalah transaksi perkreditan.
Dahulu, transaksi ini hanya mengenal satu metode saja, yaitu metode langsung antara pemilik barang dengan konsumen. Akan tetapi di zaman sekarang, perkreditan telah berkembang dan mengenal metode baru, yaitu metode tidak langsung, dengan melibatkan pihak ketiga.
Dengan demikian pembeli sebagai pihak pertama tidak hanya bertransaksi dengan pemilik barang, akan tetapi ia bertransaksi dengan dua pihak yang berbeda:
Pihak kedua: Pemilik barang.
Pihak ketiga: Perusahaan pembiayaan atau perkreditan atau perbankan. Perkreditan semacan ini biasa kita temukan pada perkreditan rumah (KPR), atau kendaraan bermotor.
Pada kesempatan ini, saya mengajak para pembaca untuk bersama-sama mengkaji hukum kedua jenis perkreditan ini.
Hukum Perkreditan Langsung
Perkreditan yang dilakukan secara langsung antara pemilik barang dengan pembeli adalah suatu transaksi perniagaan yang dihalalkan dalam syari’at. Hukum akad perkreditan ini tetap berlaku, walaupun harga pembelian dengan kredit lebih besar dibanding dengan harga pembelian dengan cara kontan. Inilah pendapat -sebatas ilmu yang saya miliki-, yang paling kuat, dan pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama’. Kesimpulan hukum ini berdasarkan beberapa dalil berikut:
Dalil pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ. البقرة: 282
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. Al Baqarah: 282)
Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.
Dalil kedua: Hadits riwayat ‘Aisyah radhiaalahu ‘anha.
اشترى رسول الله صلى الله عليه و سلم من يهوديٍّ طعاماً نسيئةً ورهنه درعَه. متفق عليه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual-beli dengan pembayaran dihutang.
Dalil ketiga: Hadits Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhu.
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يجهز جيشا قال عبد الله بن عمرو وليس عندنا ظهر قال فأمره النبي صلى الله عليه و سلم أن يبتاع ظهرا إلى خروج المصدق فابتاع عبد الله بن عمرو البعير بالبعيرين وبالأبعرة إلى خروج المصدق بأمر رسول الله صلى الله عليه و سلم. رواه أحمد وأبو داود والدارقطني وحسنه الألباني
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amer bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan dihasankan oleh Al Albani.
Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabat Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta dengan pembayaran dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela dengan harga yang begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang).
Dalil keempat: Keumuman hadits salam (jual-beli dengan pemesanan).
Diantara bentuk perniagaan yang diijinkan syari’at adalah dengan cara salam, yaitu memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan). Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan akan hukum transaksi ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian dengan penyerahan barang langsung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersabda:
من أسلف فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم. متفق عليه
“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Pemahaman dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan kaedah dalam ilmu fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Berdasarkan kaedah ini, para ulama’ menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil yang shahih nan tegas yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh atau halal untuk dilakukan.
Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من بَاعَ بَيْعَتَيْنِ في بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أو الرِّبَا. رواه الترمذي وغيره
“Barang siapa yang menjual jual penjualan dalam satu penjualan maka ia hanya dibenarkan mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke dalam riba.” Riwayat At Tirmizy dan lain-lain, maka penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan lainnya([1]) , bahwa makna hadits ini adalah larangan dari berjual beli dengan cara ‘inah. Jual beli ‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual membeli kembali barang tersebut dengan dengan pembayaran kontan dan harga yang lebih murah.
Hukum Perkreditan Segitiga
Agar lebih mudah memahami hukum perkreditian jenis ini, maka berikut saya sebutkan contoh singkat tentang perkreditan jenis ini:
Bila pak Ahmad hendak membeli motor dengan pembayaran dicicil/kredit, maka ia dapat mendatangi salah satu showrom motor yang melayani penjualan dengan cara kredit. Setelah ia memilih motor yang diinginkan, dan menentukan pilihan masa pengkreditan, ia akan diminta mengisi formulir serta manandatanganinya, dan biasanya dengan menyertakan barang jaminan, serta uang muka.([2]) Bila harga motor tersebut dangan pembayaran tunai, adalah Rp 10.000.000,-, maka ketika pembeliannya dengan cara kredit, harganya Rp 12.000.000,- atau lebih.
Setelah akad jual-beli ini selesai ditanda tangani dan pembelipun telah membawa pulang motor yang ia beli, maka pembeli tersebut berkewajiban untuk menyetorkan uang cicilan motornya itu ke bank atau ke PT perkreditan, dan bukan ke showrom tempat ia mengadakan transkasi dan menerima motor yang ia beli tersebut.
Praktek serupa juga dapat kita saksikan pada perkreditan rumah, atau lainnya.
Keberadaan dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan pertanyaan di benak kita: mengapa pak Ahmad harus membayarkan cicilannya ke bank atau PT perkreditan, bukan ke showrom tempat ia bertransaksi dan menerima motornya?
Jawabannya sederhana: karena Bank atau PT Perkreditannya telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak showrom, yang intinya: bila ada pembeli dengan cara kredit, maka pihak bank berkewajiban membayarkan harga motor tersebut dengan pembayaran kontan, dengan konsekwensi pembeli tersebut dengan otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak menerima cicilannya. Dengan demikian, seusai pembeli menandatangani formulir pembelian, pihak showrom langsung mendapatkan haknya, yaitu berupa pembayaran tunai dari bank. Sedangkan pembeli secara otomatis telah menjadi nasabah bank terkait.
Praktek semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan hawalah, yaitu memindahkan piutang kepada pihak ketiga dengan ketentuan tertentu.
Pada dasarnya, akad hawalah dibenarkan dalam syari’at, akan tetatpi permasalahannya menjadi lain, tatkala hawalah digabungkan dengan akad jual-beli dalam satu transaksi. Untuk mengetahui dengan benar hukum perkreditan yang menyatukan antara akad jual beli dengan akad hawalah, maka kita lakukan dengan memahami dua penafsiran yang sebanarnya dari akad perkreditan segitiga ini.
Bila kita berusaha mengkaji dengan seksama akad perkreditan segitiga ini, niscaya akan kita dapatkan dua penafsiran yang saling mendukung dan berujung pada kesimpulan hukum yang sama. Kedua penafsiran tersebut adalah:
Penafsiran pertama: Bank telah menghutangi pembeli motor tersebut uang sejumlah Rp 10.000.000,- dan dalam waktu yang sama Bank langsung membayarkannya ke showrom tempat ia membeli motornya itu. Kemudian Bank menuntut pembeli ini untuk membayar piutang tersebut dalam jumlah Rp 13.000.000,-. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba jahiliyyah). Dan hukumnya seperti yang disebutkan dalam hadits berikut:
عن جابر قال: لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه، وقال: هم سواء. رواه مسلم
Dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda: “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (Muslim)
Penafsiran kedua: Bank telah membeli motor tersebut dari Show Room, dan menjualnya kembali kepada pembeli tersebut. Sehingga bila penafsiran ini yang benar, maka Bank telah menjual motor yang ia beli sebelum ia pindahkan dari tempat penjual yaitu showrom ke tempatnya sendiri, sehingga Bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor tersebut semuanya langsung dituliskan dengan nama pembeli tersebut, dan bukan atas nama bank yang kemudian di balik nama ke pembeli tersebut. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka perkreditan ini adalah salah satu bentuk rekasaya riba yang jelas-jelas diharamkan dalam syari’at.
عن ابن عباس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: من ابتاع طعاما فلا يبعه حتى يقبضه. قال ابن عباس: وأحسب كل شيء بمنزلة الطعام. متفق عليه
“Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pendapat Ibnu ‘Abbas ini selaras dengan hadits Zaid bin Tsabit t berikut:
عن ابن عمر قال: ابتعت زيتا في السوق، فلما استوجبته لنفسي لقيني رجل فأعطاني به ربحا حسنا، فأردت أن أضرب على يده، فأخذ رجل من خلفي بذراعي، فالتفت فإذا زيد بن ثابت فقال: لا تبعه حيث ابتعته حتى تحوزه إلى رحلك فإن رسول الله e نهى أن تباع السلع حيث تبتاع حتى يحوزها التجار إلى رحالهم. رواه أبو داود والحاكم
“Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut) tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka akupun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: “Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing.” (Riwayat Abu dawud dan Al Hakim)([3])
Para ulama’ menyebutkan beberapa hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah, karena kepemilikan penjual terhadap barang yang belum ia terima bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dll, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali, ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.
Dan hikmah kedua: Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas t ketika muridnya yang bernama Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:
قلت لابن عباس: كيف ذاك؟ قال: ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ.
Saya bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Bagaimana kok demikian?” Ia menjawab: “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda.”([4])
Ibnu Hajar menjelaskan perkatan Ibnu ‘Abbas di atas dengan berkata: “Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan yang ia jual masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar (menghutangkan) uang 100 dinar dengan pembayaran/harga 120 dinar. Dan sebagai konsekwensi penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja, (akan tetapi berlaku juga pada komoditi perniagaan lainnya-pen).”([5])
Dengan penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa pembelian rumah atau kendaraan dengan melalui perkreditan yang biasa terjadi di masyarakat adalah terlarang karena merupakan salah satu bentuk perniagaan riba.
Solusi
Sebagai solusi dari perkreditan riba yang pasti tidak akan diberkahi Allah, maka kita dapat menggunakan metode perkreditan pertama, yaitu dengan membeli langsung dari pemilik barang, tanpa menyertakan pihak ketiga. Misalnya dengan menempuh akad al wa’du bis syira’ (janji pembelian) yaitu dengan meminta kepada seorang pengusaha yang memiliki modal agar ia membeli terlebih dahulu barang yang dimaksud. Setelah barang yang dimaksud terbeli dan berpindah tangan kepada pengusaha tersebut, kita membeli barang itu darinya dengan pembayaran dicicil/terhutang . Tentu dengan memberinya keuntungan yang layak.
Dan bila solusi pertama ini tidak dapat diterapkan karena suatu hal, maka saya menganjurkan kepada pembaca untuk bersabar dan tidak melanggar hukum Allah Ta’ala demi mendapatkan barang yang diinginkan tanpa memperdulikan faktor keberkahan dan keridhaan ilahi. Tentunya dengan sambil menabung dan menempuh hidup hemat, dan tidak memaksakan diri dalam pemenuhan kebutuhan. Berlatihlah untuk senantiasa bangga dan menghargai rizqi yang telah Allah Ta’ala karuniakan kepada kita, sehingga kita akan lebih mudah untuk mensyukuri setiap nikmat yang kita miliki. Bila kita benar-benar mensyukuri kenikmatan Allah, niscaya Allah Ta’ala akan melipatgandakan karunia-Nya kepada kita:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ . إبراهيم 7
“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengumandangkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Qs. Ibrahim: 7)
Dan hendaknya kita senantiasa yakin bahwa barang siapa bertaqwa kepada Allah dengan menjalankan perintah dan meninggalkan larangan, niscaya Allah akan memudahkan jalan keluar yang penuh dengan keberkahan.
ومن يتق الله يجعل له مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Qs. At Thalaq: 2-3)
Dahulu dinyatakan oleh para ulama’:
من ترك شيئا لله عوضه الله خيرا منه
“Barang siapa meninggalkan suatu hal karena Allah, niscaya Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik.”
Wallau Ta’ala a’alam bisshowab.
***