Sabtu, 23 Juni 2012

KOPERASI JASA KEUANGAN SYARIAH


                                 Pengertian Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah.
Koperasi Jasa Keuangan Syariah selanjutnya disebut KJKS adalah Koperasi yang kegiatan usahanya bergerak di bidang pembiayaan, investasi, dan simpanan sesuai pola bagi hasil (syariah).
Unit Jasa Keuangan Syariah selanjutnya disebut UJKS, adalah unit koperasi yang bergerak di bidang usaha pembiayaan, investasi dan simpanan dengan pola bagi hasil (syariah) sebagai bagian dari kegiatan koperasi yang bersangkutan.

Persyaratan dan Tata Cara Pendirian Koperasi Jasa Keuangan Syariah/Unit Jasa Keuangan Syariah
Persyaratan dan Tata Cara Pendirian Koperasi Jasa Keuangan Syariah adalah sebagai berikut:
 (1) Koperasi Jasa Keuangan Syariah Primer dibentuk oleh sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang yang memenuhi persyaratan untuk mejadi anggota koperasi dan orangorang dimaksud mempunyai kegiatan usaha dan atau mempunyai kepentingan ekonomi yang sama.
(2) Koperasi Jasa Keuangan Syariah Sekunder dibentuk oleh sekurang-kurangnya 3
(tiga) koperasi yang sudah berbadan hukum dan harus memenuhi persyaratan kelayakan usaha serta manfaat pelayanan kepada anggotanya.
(3) Pendirian Koperasi Jasa Keuangan Syariah Tingkat Primer dan Sekunder, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun
1994 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi serta Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor 104.1/Kep/M.KUKM/X/2002  tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembentukan, Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi.

Pengajuan permohonan pengesahan akta pendirian Koperasi Jasa Keuangan Syariah wajib melampirkan :
a. berita acara rapat pendirian Koperasi Jasa Keuangan Syariah, disertai dengan daftar hadir, dan bukti photocopy KTP seluruh anggota;
b. surat bukti penyetoran modal pada awal pendirian Koperasi Jasa Keuangan Syariah Primer sekurang-kurangnya Rp 15.000.000 (lima belas juta rupiah), dan KoperasiJasa Keuangan Syariah Sekunder sekurang-kurangnya Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah);
c. setoran sebagaimana dimaksud pada huruf b dilakukan dalam bentuk deposito pada bank Syariah yang disetorkan atas nama Menteri cq Ketua Koperasi yang bersangkutan yang dapat dicairkan sebagai modal awal Koperasi Jasa Keuangan Syariah / Unit Jasa Keuangan Syariah atas dasar persetujuan pencairan oleh Menteri atau Pejabat, yang dilaksanakan bersamaan dengan pengesahan dan atau perubahan anggaran dasar koperasi;
d. rencana kerja sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, yang menjelaskan antara lain :
1) rencana penghimpunan dana dan pengalokasian pembiayaannya beserta jenis akad yang melandasinya;
2) Standar Operasional Prosedur (SOP) yang memuat peraturan dan prosedur transaksi sumber dana dan pembiayaan lengkap dengan teknis penerapan akad Syariah dan perhitungan bagi hasil/marjin masing-masing produk simpanan maupun pembiayaan, dan telah dimintakan fatwa/rekomendasi dari Dewan Syariah yang bersangkutan;
3) rencana penghimpunan modal sendiri berasal dari simpanan pokok, simpanan wajib, modal penyertaan, hibah maupun cadangan;
4) rencana modal pembiayaan yang diterima, yang dilengkapi dengan penjelasan status akad dan manfaat serta keuntungan untuk pemilik dana dan koperasi;
5) rencana pendapatan dan beban, harus dijelaskan sesuai dengan Pola Syariah dan tidak bertentangan dengan fatwa dari Dewan Syariah yang bersangkutan;
6) rencana dibidang organisasi yang meliputi rencana struktur organisasi, uraian tugas, tanggung jawab dan wewenang, jumlah karyawan, serta rencana pembentukan dewan syariah, bagi Koperasi Jasa Keuangan Syariah/Unit Jasa Keuangan Syariah yang telah mampu mengangkat ahli atau dewan syariah.
e. nama dan riwayat hidup calon pengelola dengan melampirkan :
1) surat keterangan pengalaman pernah mengikuti pelatihan dan atau magang/kerja di Lembaga keuangan Syariah;
2) surat Keterangan Berkelakuan Baik dari pihak yang berwajib yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak pernah melakukan tindak pidana;
3) surat pernyataan tidak mempunyai hubungan keluarga dengan pengurus sampai dengan derajat kesatu.
f. keterangan pokok-pokok administrasi dan pembukuan yang didesain sesuai karakteristik lembaga keuangan syariah, meliputi :
1) blanko permohonan menjadi anggota;
2) blanko permohonan pengunduran diri sebagai anggota;
3) buku daftar anggota;
4) buku daftar simpanan pokok dan simpanan wajib anggota;
5) blanko Tabungan dan atau Simpanan Berjangka;
6) blanko administrasi Pembiayaan/Tagihan (Piutang) yang diberikan;
7) blanko administrasi hutang yang diterima;
8) blanko administrasi modal sendiri;
9) formulir akad Pembiayaan dan Piutang Jual Beli.
g. Daftar Sarana Kerja yang memuat catatan daftar :
1) kantor, meja dan kursi;
2) komputer dan alat hitung;
3) tempat menyimpan uang atau brankas;
4) tempat menyimpan buku administrasi dan pembukuan.

Pengesahan atas permohonan pendirian Koperasi Jasa Keuangan Syariah diatur sesuaidengan lokasi dan jangkauan keanggotaan koperasi yang bersangkutan, dengan ketentuan :
a. permohonan pengesahan akta pendirian Koperasi Jasa Keuangan Syariah Primer dan Sekunder yang anggotanya berdomisili di dua atau lebih propinsi, diajukan kepada Menteri Deputi Bidang Kelembagaan Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, setelah terlebih dahulu mendapatkan rekomendasi Pejabat pada tingkat kabupaten/kota tempat domisili koperasi yang bersangkutan dan selanjutnya Menteri mengeluarkan surat keputusan pengesahan akta pendiriannya;
b. permohonan pengesahan akta pendirian Koperasi Jasa Keuangan Syariah, baik Koperasi Jasa Keuangan Syariah Primer maupun Sekunder yang anggotanya berdomisili di beberapa kabupaten dan atau kota dalam satu propinsi, diajukan kepada instansi yang membidangi koperasi tingkat propinsi yang membawahi bidang koperasi, dengan terlebih dahulu mendapatkan rekomendasi dari Pejabat yang membawahi bidang koperasi pada kabupaten dan atau kota tempat domisili koperasi yang bersangkutan. Selanjutnya Pejabat tingkat propinsi mengeluarkan surat keputusan pengesahan akta pendiriannya;
c. permohonan pengesahan akta pendirian Koperasi Jasa Keuangan Syariah Primer dan Sekunder yang anggotanya berdomisili dalam satu wilayah kabupaten dan atau kota diajukan kepada Instansi yang membawahi bidang koperasi pada kabupaten dan atau kota setempat dan selanjutnya Pejabat setempat mengeluarkan surat keputusan pengesahan akta pendiriannya;
d. jawaban terhadap permohonan pengesahan akta pendirian Koperasi Jasa
Keuangan Syariah dikeluarkan paling lambat dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya permohonan pengesahan secara lengkap oleh Pejabat;
e. bagi instansi yang memberikan pengesahan akta pendirian diharuskan membuat catatan dan atau data registrasi koperasi di wilayah masing-masing;
f. Pejabat mencatat pengesahan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c ke dalam Buku Daftar Umum Koperasi;
g. tembusan surat keputusan pengesahan akta pendirian yang dikeluarkan oleh
instansi tingkat Kabupaten/Kota dan tingkat Propinsi/DI yang membawahi koperasi, dikirimkan kepada Deputi Bidang Kelembagaan Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah untuk diumumkan dalam Berita Negara RI;
h. pengesahan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c berlaku sebagai ijin usaha dan Koperasi Jasa Keuangan Syariah yang bersangkutan dapat melakukan kegiatan usaha pembiayaan.

T ujuan
Tujuan pengembangan Koperasi Jasa Keuangan Syariah / Unit Jasa Keuangan Syariah :
a. meningkatkan program pemberdayaan ekonomi, khususnya di kalangan usaha
mikro, kecil, menengah dan koperasi melalui sistem syariah;
b. mendorong kehidupan ekonomi syariah dalam kegiatan usaha mikro, kecil, dan
menengah khususnya dan ekonomi Indonesia pada umumnya;
c. meningkatkan semangat dan peran serta anggota masyarakat dalam kegiatan Koperasi Jasa Keuangan Syariah.

ARIYAH


A.  Pengertian Dan Dasar Hukum Ariyah
1.      Pengertian Ariyah
Menurut etimologi, ariyah (العارية) adalah diambil dari kata (عار) yang berarti datang atau pergi. Menurut sebagian pendapat ariyah berasal dari kata (التعاور) yang artinya sama dengan (التناول او التناوب) artinya menukar dan mengganti, yakni dalam tradisi pinjam-meminjam.
Menurut terminologi syara Ulama Fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:
a.       Menurut Syakhasi dan Ulama Malikiyah
تَملِيكُ الْمَنفَعَةِ بِغَيرِ عَوضٍ
Artinya :
Pemilikan atas manfaat (suatu benda) tanpa mengganti.

b.      Menurut Ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah
اِبَاحَةُ الْمَنْفَعَةِ بِلَا عَوضٍ
Artinya:
Pembolehan untuk mengambil manfaat tanpa pengganti.

c.       Menurut Ulama Hanafiyah
تَمْلِيكُ الْمَنَافِعِ مَجَانًا
Artinya :
Pemilikan manfaat secara Cuma-Cuma.

Dalam pelakasanaanya, ariyah diartikan sebagai perbuatan pemberian milik untuk sementara waktu oleh seseorang kepada pihak lain, pihak yang menerima pemilikan itu diperbolehkan memanfaatkan serta mengambil manfaat dari harta yang diberikan itu tanpa harus membayar imbalan. Pada waktu tertentu penerima harta itu wajib mengembalikan harta yang diterimanya itu kepada pihak pemberi. Inilah kira-kira gambaran dari pinjam-meminjam (ariyah). Oleh sebab itu, Para Ulama biasanya mendefinisikan ariyah itu sebagai pembolehan oleh seseorang untuk dimanfaatkan harta miliknya oleh orang lain tanpa diharuskan memberi imbalan. Akad ini berbeda dengan hibah, karena ariyah dimaksudkan untuk mengambil manfaat dari suatu benda. Sedangkan hibah mengambil dari zat benda tersebut.
Dalam ketentuan kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754 dijumpai ketentuan yang berbunyi sebagai berikut : “ pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
2.      Dasar Hukum Ariyah
Adapun landasan syara atau dasar hukum yang dapat dijadikan pedoman ariyah adalah :
a.         Al Qur’an
Dasar hukum ariyah adalah anjuran agama supaya manusia hidup tolong-menolong serta saling bantu membantu dalam lapangan kebajikan. Pada surat al-maidah ayat kedua allah berfirman :
Yang Artinya :
“ Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketaqwaan dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”
Dalam surat al-Nisa’ ayat 58 Allah berfirman :

Yang Artinya:
“sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menunaikan amanah kepada yang berhak menerimannya.”
Bila Seseorang tidak mengembalikan waktu peminjamannya atau menunda waktu pengembaliannya, berarti ia berbuat khianat. Serta berbuat maksiat kepada pihak yang sudah menolongnya. Perbuatan seperti ini jelas bukan merupakan suatu tindakan terpuji, sebab selain ia tidak berterima kasih kepada orang yang menolongnya, pihak peminjam itu sudah menzalimi pihak yang sudah membantunya. Ini berarti bahwa ia telah melanggar amanah dan melakukan suatu yang dilarang agama.
Sebab perbuatan yang seperti itu, bertentangan dengan ajaran Allah yang mewajibkan seseorang yang menunaikan amanah seta dilarang berbuat khianat.
b.        Al-Hadits
Keterangan hadits Rasulullah SAW mengenai pinjam meminjam antara lain :
عَن اَبِي مَسعُودٍ اَنَ النَّبِي ص ل : قَالَ مَامِن مُسلِمٍ يُقْرِضُ مُسلِمًا قَرضًا مَرَّتَينِ اِلَّا كَانَ كَصَدَقَتِهَامَرَّةً
Artinya :
” dari sahabat ibnu mas’ud bahwa nabi Muhammad SAW bersabda: tidak ada seorang muslim yang meminjami muslim lainnya dua kali kecuali yang satunya seperti shodaqoh.”
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:
اَلْعَارِيَةُ مُؤَدَّاةٌ وَالزَّعِيمُ غَارِمٌ وَالدَّينُ مَقضِيٌ
Artinya: “Pinjaman wajib dikembalikan, dan orang yang menjamin sesuatu harus membayar dan hutang itu wajib dibayar.

B.  Rukun Dan Syarat Ariyah
1.        Rukun Ariyah
Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah. Menurut Syafi’iyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafadz shigot akad, yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.
Secara umum, jumhur ulama’ fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat, yaitu : mu’ir (peminjam), musta’ir(yang meminjamkan), mu’ar(yang dipinjamkan), sighot, yakni sesuatu yang menunjukan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
2.        Syarat ariyah
Ulama Fuqoha mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut:
a.    Mu’ir berakal sehat
Dengan demikian, orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang. Ulama hanafiyah tidak mensyaratkan sudah baligh, sedangkan ulama’ lainnya menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat kebaikan sekehendaknya, tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang bodoh.
b.    Pemegang barang oleh peminjam
Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang barang adalah peminjam, seperti halnya dalam hibah.
c.    Barang (musta’ar) dapat dimanfaatlan tanpa merusak zatnya, jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan akad tidak sah.
Menyangkut lafal, hendaklah ada pernyataan tentang pinjam meminjam tersebut. Namun demikan, sebagian ahli berpendapat bahwa perjanjian pinjam meminjam tersebut sah walaupun tidak dengan lafal. Tetapi untuk kekuatan dan kejelasan akad haruslah menggunakan lafal yang jelas dalm pinjam meminjam.
3.        Syarat sahnya ariyah
Untuk sahnya ariyah, ada empat yang wajib dipenuhi:
a.         Pemberian pinjaman hendaknya orang yang layak berbaik hati. Oleh karenanya ariyah yang dilakukan orang yang sedang ditahn hartanya tidak sah.
b.         Manfaat dari barang yang dipinjamkan itu hendaklah milik dari yang meminjamkan. Artinya sekalipun orang itu tidak memiliki barang, hanya memiliki manfaatnya saja, dia boleh meminjamkan. Contohnya penyewa, dia boleh meminjamkan barang yang dia sewa. Sebaliknya orang yang meminjam tidak boleh meminjamkan barang yang dia pinjam kepada orang lain. Karena dia bukanlah pemilik manfaat barng tersebut. Dia hanya diperbolehkan saja mengambil manfaatnya. Orang yang diperbolehkan tidaklah berarti memiliki. Dan oleh karenanyan dia tidak berkuasa memindahkan keizinan tersebut kepada orang lain. Dengan alasan, bahwa seorang tamu tidak diperkenankan memberi suguhan kepada orang lain. Bahkan tidak dibenarkan dia member makan, meski hanya kepada seekor kucing yang kebetulan lewat.
c.         Barang yang dipinjamkan hendaklah ada manfaatnya, maka tidak sah meminjamkan barang yang tidak berguna, karena sia-sia saja tujan peminjaman itu.
d.        Barang pinjaman harus tetap utuh, tidak boleh rusak setelah diambil manfaatnya, seperti kendaraan, pakaian maupun alat-alat lainnya. Maka tidak sah meminjamkan barang-barang itu sendiri akan tidak utuh, seperti meminjamkan makanan, lilin dan sebagainya. Karena pemanfaatan barang-barang konsumtif ini justru terletak dalam menghabiskannya. Padahal syarat sahnya ariyah hendaklah barang itu sendiri tetap utuh.

C.  Obyek Ariyah
Para ulama menetapkan bahwa ariyah dibolehkan terhadap setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya. Berkaitan dengan obyek yang menjadi sasaran transaksi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1.        Harta yang dipinjamkan itu mestilah milik atau harta yang berada di bawah kekuasaan pihak yang meminjamkan. Sedangkan tidak berhak meminjamkan sesuatu yang bukan miliknya atau yang tidak dibenarkan kekuasaannya. Disisi lain, pihak peminjam juga tidak dibenarkan meminjam sesuatu benda kepada oaring lain, bila ia tahu bahwa orang tempat ia meminjam itu tidak punya kekuasaan atas benda yang ingin dipinjamnya.
2.        Obyek yang dipinjam itu mestilah sesuatu yang bias dimanfaatkan, baik pemanfaatan yang akan diperoleh itu bentuk materi ataupun tidak. Tidak ada artinya meminjamkan sesuatu yang tidak mendatangkan manfaat kepada pihak peminjam, seperti meminjamkan uang yang sudah tidak punya nilai lagi.
Pemanfaatan harta yang dipinjam itu berada dalam ruang lingkup kebolehan. Pada bentuk ini terkandung makna bahwa tidak boleh meminjamkan sesuatu kepada seseorang yang bertujuan untuk maksiat, baik pemanfaatan untuk maksiat itu dating dari pihak yang meminjamkan atau pihak peminjam. Ajaran agama jelas menutup segala jalan yang mengarah kepada tujuan tidak terpuji, dan karena itu tidaklah dibenarkan meminjamkan sesuatu benda panjam kepada pihak lain bila barang pinjaman itu akan digunakan untuk berbuat maksiat.

Rabu, 13 Juni 2012

WAKAF MENGATASI KEMISKINAN


WAKAF MENGATASI KEMISKINAN

Krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia secara faktual telah melipat gandakan jumlah penduduk miskin dari ± 25 juta jiwa di akhir tahun 1997 menjadi ± 100 juta jiwa di tahun 1999. Berbagai cara dilakukan untuk mengatasi masalah ini antara lain melalui JPS (Jaringan Pengaman Sosial) serta berbagai sumbangan dari dalam dan luar negeri. Sementara itu pengangguran masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Walaupun pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan, namun kebijakan pemerintah itu belum mampu mengentaskan kemiskinan dan pengangguran. Kemiskinan merupakan persoalan yang menakutkan, yang dapat merajalela dan berpengaruh kepada sistem kehidupan yang lebih makro, sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus dilenyapkan.
 Kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat sebenarnya tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah sendiri tampaknya cukup kesulitan untuk mengatasi masalah ini mengingat terbatasnya dana yang tersedia dalam APBN. Selain itu mengingat Pinjaman Luar Negeri (PLN) Indonesia yang sangat besar, maka alternatif PLN untuk mengatasi masalah menjadi kurang dipertimbangkan.

A.    Fakta Kemiskinan di Indonesia
            Kemiskinan adalah sebuah masalah dari sekian banyak masalah yang ada di negeri ini. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah dan elemen masyarakat agar masalah kemiskinan di negeri ini bisa teratasi. Ada upaya yang berhasil, ada pula yang tidak berhasil. Namun demikian, upaya tersebut patut untuk diapresiasi karena ada suatu kemauan untuk menjalankan amanah konstitusi yang tercantum dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, yaitu: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”
            Kemauan dan upaya untuk menanggulangi masalah kemiskinan di negeri ini harus terus diperkuat. Pasalnya, penanggulangan masalah kemiskinan masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi negeri ini. kemiskinan masih menjadi masalah utama bangsa Indonesia dalam lima tahun terakhir ini yang harus diselesaikan oleh negara (Kompas, 11 April 2011). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2010 adalah 31, 02 juta. Berarti, dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010, yaitu 237, 64 juta, hanya ada 13% penduduk Indonesia yang mengalami kemiskinan. Persentase jumlah penduduk miskin di Indonesia memang bisa dikatakan rendah namun hal tersebut tetap harus membuat penanggulangan kemiskinan menjadi prioritas utama negeri ini.
B.     Gerakan wakaf solusi pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan umat
Syari’at Islam secara garis besar meliputi dua aspek, yakni :
1) ajaran-ajaran yang murni merupakan hubungan antara manusia dengan Allah, yang disebut ibadah, seperti shalat dan puasa,
2) ajaran-ajaran yang murni merupakan hubungan antar sesama manusia (hubungan sosial), yang disebut mu’amalah (dalam arti luas), seperti hukum-hukum tentang perdagangan, keuangan, perbuatan kriminal dan sebagainya. Di samping itu, terdapat juga ajaran yang merupakan ibadah berdimensi sosial, yakni zakat dan wakaf.
Sebagai ibadah yang berdimensi sosial, wakaf mempunyai filosofi dan hikmah yang sangat rasional bermanfaat bagi kehidupan umat. Manfaat ini sudah terbukti dalam sejarah umat Islam, sejak awal sampai kini. Hal tersebut memang sangat tergantung kepada kemampuan umat sendiri untuk mengaktualisasikan filosofi dan hikmah wakaf dalam kehidupan umat. Kini manfaat atau hikmah ini belum diwujudkan secara optimal, yang disebabkan beberapa faktor, baik bersifat internal maupun eksternal. Tetapi faktor internal lah yang lebih menentukan potensi wakaf itu belum aktualisasikan sepenuhnya dalam kehidupan umat, misalnya kurangnya perhatian terhadap potensi wakaf, dan terbatasnya kemampuan para pengelola (nazhir) wakaf untuk mendayagunakan secara efektif dan produktif.
Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud shadaqah jariyah dalam hadits nabi adalah wakaf. Itulah antara lain beberapa dalil yang menjadi dasar hukum disyariatkannya wakaf dalam Islam. Kemudian dari segi keutamaannya, Syaikh Abdullah Ali Bassam berkata, “wakaf adalah sedekah yang paling mulia. Allah swt menganjurkannya dan menjanjikan pahala yang sangat besar bagi yang berwakaf, karena sedekah berupa wakaf tetap terus mengalirkan kebaikan dan mashlahat”. Adapun keutamaan wakaf ini bisa dilihat dari dua sisi yang berbeda. Bagi penerima hasil (mauquf alaih), wakaf akan menebarkan kebaikan kepada pihak yang memperoleh hasil wakaf dan orang yang membutuhkan bantuan, seperti fakir miskin, anak yatim, korban bencana, orang yang tidak punya usaha dan pekerjaan, orang yang berjihad di jalan Alllah swt. Wakaf juga memberi manfaat besar untuk kemajuan ilmu pengetahuan, seperti bantuan bagi para pengajar dan penuntut ilmu, serta berbagai pelayanan kemaslahatan umat yang lain.
Gerakan wakaf harus segera direalisasikan, tentunya dengan kerjasama pemerintah, lembaga/organisasi kemasyarakatan serta tokoh masyarakat dan masyarakat sepenuhnya. Semoga dengan diterapkannya peraturan perwakafan di Indonesia dan meningkatnya partisipasi masyarakat terhadap wakaf, masalah kemiskinan di Indonesia dapat segera diselasiakan, paling tidak segera diturunkan kuantitasnya. Disamping itu tentunya secata otomatis kualitas umat bisa meningkat menjadi umat yang berkualitas unggul dan bangsa kita bisa lebih makmur dan terwujudlah baldatun thoyibah.

C.    Aternatif Mengatasi Kemiskinan
Seperti yang telah dijelaskan di atas, penulis tidak sepakat terhadap solusi penanganan kemiskinan melalui pembuatan RUU Penanganan Fakir Miskin. Oleh karena itu, penulis akan memaparkan alternatif solusi lainnya untuk mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia. Berikut merupakan alternatif solusi tersebut:
1.      Optimalisasi lembaga zakat dan wakaf
Lembaga zakat dan wakaf telah diakui keberadaannya di Indonesia sejak lama dan pengaturannya telah mencapai level undang-undang. Selain itu, potensi zakat dan wakaf sangat besar sehingga sangat memungkinkan untuk digunakan guna mengatasi masalah kemiskinan di negeri ini. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat Nasional dan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB pada tahun 2011, potensi zakat secara nasional mencapai angka Rp 217 triliun atau setara dengan 3,40 persen dari total PDB. Sedangkan potensi wakaf di Indonesia, yaitu  potensi  dari wakaf tanah seluas 2.171.041.349. m2  yang tersebar di 414.848 (Data Departemen Agama Tahun 2010) dan potensi wakaf uang yang mencapai Rp 20 triliun per tahunnya (asumsi yang dibuat oleh Mustafa Edwin Nasution).
Agar potensi zakat dan wakaf tersebut bisa dioptimalkan untuk mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia, diperlukan sinergisitas unsur pemerintah dengan elemen masyakarat, dalam hal ini antara Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dengan lembaga amil zakat serta antara Badan Wakaf Indonesia (BWI) dengan nazhir wakaf. Dalam membuat program-program untuk mengatasi masalah kemiskinan, baik BAZNAS dan BWI maupun amil dan nazhir, sebaiknya berusaha agar program-program tersebut sinergis dan bisa saling melengkapi sehingga tidak ada ada program yang tumpang tindih satu sama lain. Oleh karena itu, BAZNAS dan BWI sebagai elemen pemerintah perlu terus mengayomi amil dan nazhir yang ada di Indonesia agar bisa bergerak bersama untuk mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia. 

2.      ‘Perang’ melawan kemiskinan
Ali bin Abi Thalib, salah seorang khulafaur rasyidin, pernah berkata, “Seandainya kemiskinan berwujud seorang manusia niscaya aku akan membunuhnya.” Ucapan Ali bin Abi Thalib tersebut menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan suatu masalah yang harus diperangi, khususnya oleh masyarakat Indonesia. Jika selama ini kita mengenal adanya perang melawan korupsi, perang melawan terorisme, perang melawan narkoba, maka perlu dicanangkan juga perang melawan kemiskinan. Tentunya perang melawan kemiskinan yang dimaksud bukan hanya sekadar slogan dan wacana saja, tetapi juga harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Pejabat pemerintah, baik yang berada di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, harus menjadi garda terdepan dalam melawan kemiskinan ini dengan cara memberikan contoh untuk peduli terhadap masalah kemiskinan. Sebagai contoh, presiden sebagai kepala pemerintahan menginstruksikan seluruh pejabat yang ada di bawahnya untuk menyisihkan sebagian hartanya untuk diberikan kepada fakir miskin (misalnya melalui zakat dan wakaf). Apabila instruksi tersebut tidak dilaksanakan, maka pejabat tersebut akan dikenakan sanksi.
Selain itu, perang melawan kemiskinan juga bisa diwujudkan dalam sosialisasi pelaksanaan zakat dan wakaf secara massif kepada seluruh masyarakat Indonesia yang beragama Islam dan memiliki kelebihan harta. Diperlukan kerja keras, terutama oleh BAZNAS, BWI serta lembaga-lembaga zakat dan wakaf lainnya, untuk mensosialisasikan pelaksanaan zakat dan wakaf untuk mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia. Dalam melakukan sosialisasi tersebut, perlu juga diberikan pemahaman bahwa kemiskinan merupakan masalah yang harus segera diatasi oleh semua elemen di negeri ini. Adanya sosialisasi tersebut diharapkan dapat membangun kepedulian masyarakat Indonesia untuk mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia melalui zakat dan wakaf.