ASURANSI SYARIAH
Pengertian Asuransi (at-Ta`min)
Pengertian Asuransi (Konvensional)
Kata “asuransi” berasal dari bahasa Belanda, assurantie,
yang dalam hukum Belanda
disebut Verzekering yang
artinya pertanggungan. Dari peristilahan assurantie kemudian timbul
istilah assuradeurbagi penanggung,dan geassureerde bagi
tertanggung.
Banyak definisi tentang asuransi (konvensional),
menurut Robert I. Mehr asuransi adalah A device for reducing
risk by combining a sufficient number of exposure units to make
their individual losses collectively predictable. The predictable loss is then
shared by or distributed proportionately among all units in the combination (Suatu
alat untuk mengurangi resiko dengan menggabungkan sejumlah unit-unit yang
beresiko agar kerugian individu secara kolektive dapat diprediksi. Kerugian
yang dapat diprediksi tersebut kemudian dibagi dan didistribusikan secara
proporsional diantara semua unit-unit dalam gabungan tersebut)
Mark R. Greene mendefenisikan asuransi sebagai An economic institution
that reduces risk by combining under one management and group of objects
so situated that the aggregate accidental losses to which the group is subject
become predictable within narrow limits. ( Institusi ekonomi yang
mengurangi resiko dengan menggabungkan dibawah satu menegemen dan kelompok
obyek dalam suatu kondisi sehingga kerugian besar yang terjadi yang mana
diderita oleh suatu kelompok yang tadi dapat diprediksi dalam lingkup yang
lebih kecil).Sedangkan C Arthur Williams Jr. dan Richard M. Heins, melihat
asuransi dari dua sudut pandang, pertama adalah Insurance is the
protection against financial loss by an insurer (Asuransi
adalah perlindungan terhadap resiko finansial oleh penanggung), sedangkan kedua
adalah Insurance is a device by means of which the risks of two
or more persons or firms are combined through actual or promised contributions
to a fund out ofwhich claimants are paid (Asuransi adalah alat yang
mana resiko dua orang atau lebih atau perusahaan-perusahaan digabungkan melalui
kontribusi premi yang pasti atau yang ditentukan sebagai dana yang dipakai
untuk membayar klaim)
Definisi asuransi sebetulnya bisa diberikan dari berbagai sudut
pandang, yaitu dari sudut pandang ekonomi, hukum, bisnis, sosial, ataupun
berdasarkan pengertian matematika. Itu berarti bisa lima definisi bagi
asuransi.Tidak ada satu definisi yang bisa memenuhi masing-masing sudut pandang
tersebut. Asuransi merupakan bisnis yang unik, yang didalamnya terdapat kelima
aspek tersebut, yaitu aspek ekonomi, hukum, sosial, bisnis, dan aspek
matematika.
Secara baku, definisi asuransi di Indonesia
telah ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesi Nomor 2 Tahun 1992
Tentang Usaha Perasuransian: “Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian
antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak
penanggung mengikatkan diri kepada
tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian
kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau
untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan”. Sedangkan ruang lingkup Usaha Asuransi,
yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui
pengumpulan premi asuransi, memberi perlindungan kepada anggota masyarakat
pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu
peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang.
2.1.2
Pengertian Asuransi (Syari`ah)
Dalam bahasa Arab Asuransi disebut at-ta`min,
penanggung disebut mu`ammin, sedangkan tertanggung disebut mu`amman
lahu atau musta`min . At-Ta`min diambil
dari kata amana memiliki arti memberi perlindungan,
ketenangan, rasa aman dan bebas dari rasa takut, sebagaimana firman Allah:
“Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan
lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” (QS. Quraisy,106:4).
Dari kata tersebut muncul kata-kata yang berdekatan seperti:
( al-amanatu minal khaufi ) : aman dari rasa
takut
( al-amanatu dhiddal khiyanah ) : amanah lawan
dari khianat
( al-imanu dhiddal kufur ) : iman lawan dari
kufur
( i’thoul amanah/al-amana ) : memberi rasa aman
Dari arti terakhir diatas, dianggap paling tepat
untuk mendefinisikan istilah At-Ta`min, yaitu:
“Men-ta`min-kan sesuatu, artinya adalah:
seseorang membayar/menyerahkan uang cicilan untuk agar ia atau ahli warisnya
mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk
mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang, dikatakan “seseorang
mempertanggungkan atau mengasuransikan hidupnya, rumahnya atau mobilnya”
Ada tujuan dalam Islam yang menjadi kebutuhan
mendasar yaitu al kifayah (kecukupan) dan al amnu(keamanan).
Sebagaimana firman Allah swt: “…Dialah Allah yang mengamankan mereka dari
ketakutan”, sehingga sebagian masyarakat menilai bahwa bebas dari lapar
merupakan bentuk keamanan, mereka menyebutnya dengan al amnu al
qidza`I (aman komsumsi). Dari prinsip tersebut Islam mengarahkan
kepada ummatnya untuk mencari rasa aman baik untuk dirinya sendiri dimasa
mendatang atau untuk keluarganya sebagaimana nasehat Rasul kepada Sa`ad bin Abi
Waqash agar mensedekahkan sepertiga hartanya saja selebihnya ditinggalkan
untuk keluarganya agar mereka tidak menjadi beban masyarakat
Al-Fanjari mengartikan tadhamun,
takaful, at-ta`min atau asuransi syariah dengan pengertian
saling menanggung atau tanggung jawab sosial. Ia juga membagi ta`min ke dalam
tiga bagian, yaitu ta`min at-taawuniy, ta`min al tijari, dan ta`min al
hukumiy
Menurut Mushtafa Ahmad Zarqa , makna
asuransi secara istilah adalah kejadian. Adapun metodologi dan gambarannya
dapat berbeda-beda, namun pada intinya,asuransi adalah cara atau metoda untuk
memelihara manusia dalam menghindari resiko (ancaman) bahaya yang beragam yang
akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan kegiatan hidupnya atau dalam
aktifitas ekonominya.
Husain Hamid Hisan , mengatakan Asuransi
adalah sikap ta`awun yang telah diatur dengan sistem yang
sangat rapih, antara sejumlah besar manusia, semuanya telah siap mengantisipasi
suatu peristiwa, jika sebagian mereka mengalami peristiwa tersebut, maka
semuanya saling menolong dalam menghadapi peristiwa tersebut dengan sedikit
pemberian (derma) yang diberikan oleh masing masing peserta. Dengan pemberian
(derma) tersebut mereka dapat menutupi kerugian-kerugian yang dialami oleh
perserta yang tertimpa musibah. Dengan demikian asuransi adalah ta`awun yang
terpuji, yaitu saling menolong dalam berbuat kebajikan dan takwa. Dengan
ta`awun mereka saling membantu antara sesama, dan mereka takut dengan bahaya
(malapetaka) yang mengancam mereka.
Dalam bukunya `Aqdu at-Ta`min wa Mauqifu
asy-Syari`ah al Islamiayah Minhu , az Zarqa juga mengatakan,
sistem asuransi yang dipahami oleh para ulama hukum (syariah) adalah sebuah
sistem ta`awun dan tadhamun yang bertujuan untuk menutupi kerugian
peristiwa-peristiwa atau musibah-musibah. Tugas ini dibagikan kepada sekelompok
tertanggung, dengan cara memberikan pengganti kepada orang yang tertimpa
musibah. Pengganti tersebut diambil dari kumpulan premi-premi mereka. Mereka
(para ulama ahli syariah) mengatakan bahwa dalam penetapan semua hukum yang
berkaitan dengan kehidupan sosial dan ekonomi, Islam bertujuan agar suatu
masyarakat hidup berdasarkan atas asas saling menolong dan menjamin dalam
pelaksanaan hak dan kewajiban.
Dengan demikian maka asuransi dilihat dari segi
teori dan sistem, tanpa melihat sarana atau cara-cara kerja dalam
merealisasikan sistem dan mempraktekkan teorinya, sangat relevan dengan
tujuan-tujuan umum syariah dan diserukan oleh dalil-dalil juz`inya. Dikatakan
demikian karena asuransi dalam arti tersebut adalah sebuah gabungan kesepakatan
untuk saling menolong, yang telah diatur dengan sistem yang sangat rapih,
antara sejumlah besar manusia, tujuannya adalah menghilangkan atau meringankan
kerugian dari peristiwa-peristiwa yang terkadang menimpa sebagian mereka, dan
jalan yang mereka tempuh adalah dengan memberikan sedikit pemberian (derma)
dari masing-masing individu.
Asuransi dalam pengertian ini dibolehkan, tanpa
ada perbedaan pendapat. Tetapi perbedaan pendapat timbul dalam sebagian
sarana-sarana kerja yang berusaha merealisasikan dan mengaplikasikan teori dan
sistem tersebut, yaitu akad-akad asuransi yang dilangsungkan oleh para
tertanggung bersama perseroan-perseroan asuransi.
Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) dalam
fatwanya tentang pedoman umum asuransi syariah, memberi defenisi tentang
asuransi sebagai berikut: Asuransi syariah (Ta`min, Takaful, Tadhamun)
adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah
orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan atau tabarru` yang
memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad
(perikatan) yang sesuai dengan syariah.
Dari definisi diatas nampak bahwa asuransi
syariah bersifat saling melindungi dan tolong menolong yang disebut dengan “ta`awun”,
yaitu prinsip hidup saling melindungi dan tolong menolong atas dasar ukhuwah
islamiyah antara sesama anggota peserta Asuransi Syariah dalam menghadapi
malapetaka (resiko).
Oleh sebab itu, premi pada Asuransi Syariah
adalah sejumlah dana yang dibayarkan oleh peserta yang terdiri atas Dana
Tabungan dan Tabarru`. Dana Tabungan adalah dana titipan dari
peserta Asuransi Syariah (life insurance) dan akan mendapat alokasi bagi hasil
(al mudharabah) dari pendapatan investasi bersih yang diperoleh setiap tahun.
Dana tabungan beserta alokasi bagi hasil akan dikembalikan kepada peserta
apabila peserta yang bersangkutan mengajukan klaim, baik berupa klaim nilai
tunai maupun klaim manfaat asuransi. Sedangkan Tabarru` adalah
derma atau dana kebajikan yang diberikan dan diikhlaskan oleh peserta asuransi
jika sewaktu-waktu akan dipergunakan untuk membayar klaim atau manfaat asuransi
(life maupun general insurance).
Prinsip-prinsip dasar asuransi syariah
Suatu Investasi Syariah diperbolehkan secara syari, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Asuransi/Investasi Syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman, “Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
2. Investasi Keuangan Syariah tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah (Syariah Jakarta).
3. Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat (Keuangan Syariah).
4. Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
5. Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetapi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
6. Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.
Ciri-ciri asuransi syari’ah
Asuransi syariah (Investasi Syariah Jakarta) memiliki beberapa ciri, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Akad asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil mudhorobah bukan riba.
2. Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama?ah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).
3. Dalam asuransi syari’ah (Investasi Keuangan Syariah ) tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
4. Akad asuransi syariah bersih dari gharar dan riba.
5. Asuransi syariah (Keuangan Syariah) bernuansa kekeluargaan yang
kental.
Suatu Investasi Syariah diperbolehkan secara syari, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Asuransi/Investasi Syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman, “Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
2. Investasi Keuangan Syariah tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah (Syariah Jakarta).
3. Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat (Keuangan Syariah).
4. Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
5. Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetapi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
6. Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.
Ciri-ciri asuransi syari’ah
Asuransi syariah (Investasi Syariah Jakarta) memiliki beberapa ciri, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Akad asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil mudhorobah bukan riba.
2. Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama?ah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).
3. Dalam asuransi syari’ah (Investasi Keuangan Syariah ) tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
4. Akad asuransi syariah bersih dari gharar dan riba.
5. Asuransi syariah (Keuangan Syariah) bernuansa kekeluargaan yang
kental.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar